FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh dari berbagai daerah dan latar belakang menuai beragam respons publik.
Seperti diketahui, dua di antaranya merupakan mantan Presiden Soeharto dan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Pengamat Politik dan Ekonomi, Heru Subagia, menyebut bahwa keputusan menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional perlu dikaji dari sisi sejarah dan politik kekuasaan.
“Saya sebagai warga negara melihat kondite atau berbicara bagaimana sejarah berawal, dimulai, diperjuangkan, dan bahkan pada akhirnya dikontrol oleh sebuah rezim,” ujar Heru kepada fajar.co.id, Selasa (11/11/2025).
Dikatakan Heru, dalam perjalanan sejarah pembentukan negara, banyak tokoh-tokoh yang produktif namun akhirnya berbenturan dengan kepentingan kekuasaan.
“Pertanyaannya berakhir ketika banyak di antara mereka harus berbenturan arah karena kepentingan politik,” sebutnya.
Heru menilai, negara memang berhak memberikan penghormatan kepada tokoh yang dianggap berjasa.
Namun, proses itu sering kali tidak lepas dari hegemoni politik yang menelan sebagian figur lain yang juga berjuang.
“Tokoh seperti Kahar Muzakkar, misalnya, juga fenomenal dan heroik. Tapi beliau ditelan oleh perbedaan sudut pandang politik,” jelasnya.
Heru kemudian menyinggung bagaimana sejarah Indonesia sering menyingkirkan tokoh-tokoh dengan pemikiran berbeda, terutama dari kalangan kiri atau sosialis.
“Kita bisa lihat bagaimana nasib tokoh seperti Tan Malaka dan DN Aidit. Mereka juga berjuang untuk kemerdekaan, tapi dihilangkan dari ruang sejarah,” terangnya.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:


















































