
FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW), Themis Indonesia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai bahwa kasus korupsi di lingkungan BUMN bukan hanya akan semakin marak, tetapi juga berpotensi untuk tidak dapat ditindak lagi oleh aparat penegak hukum.
Hal ini sebagai respon dengan keberadaan Pasal 4B yang menyatakan kerugian BUMN bukan lagi merupakan kerugian negara, serta Pasal 9G yang mengatur bahwa anggota Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan lagi masuk dalam kategori penyelenggara negara.
Sebab, setelah Presiden Prabowo Subianto menandatangani UU No. 1 Tahun 2025 (UU BUMN), terdapat setidaknya dua pasal di dalam regeling tersebut yang berpotensi “melegalkan” praktik korupsi di dalam BUMN. Sedangkan, kasus korupsi yang terjadi di dalam BUMN sendiri tercatat sangat banyak jumlahnya setiap tahun.
Berdasarkan catatan ICW, dari 2016—2023, setidaknya terdapat 212 kasus korupsi yang terjadi di lingkungan BUMN dan telah ditindak oleh aparat penegak hukum. Dari 212 kasus korupsi tersebut, negara telah merugi setidaknya sekitar Rp64 triliun. Secara latar belakang, terdapat 349 pejabat BUMN yang pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Secara lebih spesifik, ada 84 tersangka yang dapat dikategorikan sebagai “direktur,” 124 tersangka yang dapat dikategorikan sebagai “pimpinan menengah (middle management)”, dan 129 tersangka yang dapat dikategorikan sebagai “pegawai/karyawan” di BUMN.
ICW menyebut, pasca revisi UU BUMN, kerugian keuangan yang muncul dari BUMN tidak lagi dianggap sebagai kerugian keuangan negara. Dengan demikian, akan semakin sulit ke depan bagi aparat penegak hukum untuk dapat menindaklanjuti dugaan-dugaan korupsi yang terjadi di BUMN akibat kehilangan salah satu acuan hukum untuk membuktikan salah satu unsur tindak pidana korupsi.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: