Soeharto di Vancouver, Kanada, November 1997. Foto: John Gibson/AFP
FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Wacana pemerintah untuk memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto terus menuai pro dan kontra. Kalangan aktivis tegas menolak wacana tersebut.
Penolakan salah satunya disuarakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Kelompok ini menilai pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto, sebagai pemutihan terhadap kejahatan negara masa lalu.
Hal demikian dikatakan Direktur Eksekutif De Jure, Bhatara Ibnu Reza diskusi publik di Jakarta, Rabu (5/11).
Ibnu mengatakan banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat terjadi selama Soeharto memimpin Indonesia.
Dia menyebut pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto sebagai amnesti rezim era Prabowo Subianto terhadap kekejian Orde Baru. “Apakah ini bukan suatu impunitas. Apakah rekonsiliasi ini tidak lebih dari sebenarnya sebuah amnesti yang tidak resmi,” ujarnya.
Toh, kata Ibnu, pemberian gelar pahlawan ke Soeharto menjadi kontradiksi, karena mertua Presiden RI Prabowo Subianto itu bagian dari negara dengan pernah menjabat pemimpin Indonesia.
Dia menganggap tidak logis apabila negara memaafkan dirinya sendiri atas pelanggaran yang dilakukan terhadap rakyat.
"Hanya orang gila atau orang yang secara logika hukum cacat ketika negara melakukan pelanggaran, kemudian memaafkan dirinya sendiri terhadap pelanggaran yang dilakukan terhadap warga negaranya," katanya.
Selain itu, Ibnu menilai pemerintahan era Soeharto banyak melakukan pelanggaran hukum dan korupsi.
Dia bahkan menyebut negara sendiri telah mengakui masalah itu melalui TAP MPR yang menyinggung praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) era Orde Baru "Nah, ini sudah artinya negara mengakui bahwa ada permasalahan selama 32 tahun pemerintahan (Soeharto)," katanya.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:


















































