
FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah dokumen politik lama yang pernah diteken Jokowi saat mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta kembali menjadi sorotan publik.
Kontrak politik bertajuk “Jakarta Baru: Pro-Rakyat Miskin, Berbasis Pelayanan dan Partisipasi Warga” itu ditandatangani pada 15 September 2012 di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara.
Dalam kontrak tersebut, Jokowi berkomitmen menjalankan tiga poin utama dalam kepemimpinan di Ibu Kota, terutama menyasar masyarakat miskin perkotaan.
Pertama, pelibatan warga dalam perumusan kebijakan kota mulai dari RTRW, APBD, hingga pengawasan dan pelaksanaan program pembangunan.
Kedua, pemenuhan dan perlindungan hak-hak warga, termasuk legalisasi kampung ilegal yang telah dihuni lebih dari 20 tahun, penataan permukiman kumuh tanpa penggusuran.
Serta, perlindungan terhadap sektor ekonomi informal seperti PKL, becak, nelayan tradisional, dan pedagang kecil.
Ketiga, keterbukaan dan penyebarluasan informasi kepada warga kota.
Jokowi juga menekankan komitmennya untuk memediasi persoalan tanah antara warga miskin kota dengan pemilik lahan swasta maupun BUMN agar hak-hak masyarakat tetap terlindungi.
Dokumen tersebut turut disaksikan oleh berbagai elemen masyarakat sipil, seperti Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Serikat Becak Jakarta (Sebaja), Komunitas Juang Perempuan (KJP), dan Urban Poor Consortium (UPC).
Namun, lebih dari satu dekade setelah kontrak itu ditandatangani, kekecewaan mulai bermunculan.
Salah satunya datang dari kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Umar Hasibuan.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: