
FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada Alfath Bagus Panuntun menanggapi wacana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilaksanakan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dipilih oleh pemerintah pusat.
Menurutnya jika dilihat dari perspektif akademik dan praktis sistem pilkada melalui DPRD bukanlah hal baru. Sebelum tahun 2005, sistem tersebut diterapkan dan dinilai masih sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Seiring perjalanan waktu, pasca reformasi dan amandemen UUD 1945, sistem tersebut diubah menjadi pemilihan langsung untuk memperluas partisipasi rakyat.
Alfath menyorotti hal yang perlu diperhatikan dalam isu ini bukan sekedar sesuai dengan konstitusi saja, melainkan apakah sistem tersebut dapat mendorong keterlibatan masyarakat atau justru melemahkannya.
"Ini soal pilihan politik, apakah kita mau demokrasi kita lebih partisipatif atau terbatas diserahkan pada elite,” ujar Alfath dalam keterangan tertulis, Senin (18/8/2025).
Dari sisi pembiayaan, Alfath menilai sistem pilkada melalui DPRD memang lebih efisien dan mudah secara prosedur. Tapi demokrasi bukanlah suatu nilai yang hanya bergerak dalam pelaksanaan prosedural.
“Demokrasi memiliki pemaknaan yang dalam akan peran individu dalam suatu sistem kenegaraan,” imbuhnya.
Alfath menegaskan bahwa demokrasi memang “mahal” karena terus menerus berupaya mendorong partisipasi politik. Tapi tentu hal tersebut sudah menjadi konsekuensi sebagai negara yang menganut asas demokrasi.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: