
Oleh: M. Yunasri Ridhoh (Dosen Pendidikan Kewarganegaraan UNM)
FAJAR.CO.ID, OPINI -- Delapan puluh tahun merdeka, Indonesia masih mencari cara membiayai dirinya. Setiap rezim datang dengan janji kemandirian juga kemerdekaan, tapi kenyataannya negara seperti tak pernah lepas dari kebiasaan lama: menggebu-gebu mengejar kantong rakyatnya sendiri. Pajak menjadi tumpuan utama. Dari warung kecil sampai perusahaan raksasa, dari rokok eceran hingga transaksi digital, semua dipajaki.
Tentu, pajak bukan hal baru. Negara modern manapun hidup dari sana. Tapi ketika pajak menjadi satu-satunya tumpuan, sementara negara gagal menciptakan mesin ekonomi lain, kita perlu bertanya, apakah ini tanda kemerdekaan atau justru gejala salah urus?, disini anggapan salah urus ada benarnya.
Pemerintah sering membanggakan tingkat kepatuhan pajak yang naik, penerimaan yang tembus ribuan triliun, hingga keberhasilan menambah wajib pajak baru. Di sisi lain, rakyat semakin gelisah. Harga barang terus merangkak, pungutan makin banyak, ruang untuk berkreasi makin sempit, lapangan kerja sulit. Ironinya, pelayanan publik tak beranjak sepadan. Jalan masih rusak, rumah sakit penuh, pendidikan mahal, dan korupsi tetap merajalela. Pertanyaannya: untuk siapa pajak itu sebenarnya dipungut?
Pajak sebagai Simbol Kontrak Sosial
Teori klasik menyebut pajak adalah bentuk kontrak sosial. Rakyat rela memberi sebagian penghasilannya, dengan harapan negara memberi timbal balik berupa perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan. Tapi kontrak itu kerap terasa timpang. Negara rajin menagih, tapi abai memberi jaminan. Rakyat patuh, tapi yang mereka terima lebih sering janji ketimbang bukti.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: