Sejumlah perempuan menggunakan gawai untuk mengakses internet di Kampung Atkari, Distrik Misol Utara, Kabupaten Raja Ampat. (antara)
FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Perempuan yang tinggal di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) masih menghadapi berbagai hambatan yang jarang terlihat dalam perbincangan arus utama mengenai kesetaraan gender.
Meskipun Indonesia mencatat sejumlah kemajuan dalam indikator pembangunan manusia dan gender, kondisi perempuan di wilayah 3T mengingatkan kita bahwa capaian nasional belum sepenuhnya mencerminkan realitas di lapangan.
Indeks Ketimpangan Gender (IKG) 2024 nasional memang menunjukkan perbaikan. Namun, angka agregat sering kali menutupi fakta bahwa sebagian wilayah masih mengalami ketertinggalan. Di daerah yang fasilitas kesehatannya jauh, jaringan digitalnya lemah, dan norma sosialnya membatasi ruang gerak perempuan, peluang untuk berkembang kerap bergantung pada kondisi geografis, bukan kebijakan.
Perempuan di wilayah 3T menghadapi tantangan mendasar dalam hal mobilitas dan akses layanan. Jarak yang harus ditempuh untuk mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan sering kali berjam-jam perjalanan melintasi laut atau jalan yang belum memadai. Kondisi ini membuat perempuan rentan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan layanan kesehatan reproduksi, imunisasi, persalinan yang aman, hingga konseling gizi.
Kesenjangan digital juga memperburuk situasi. Di era ketika akses internet semakin menentukan peluang ekonomi, perempuan di banyak daerah 3T masih bergantung pada sinyal terbatas yang hanya tersedia di titik-titik tertentu. Padahal, konektivitas digital kini menjadi pintu masuk ke pasar, layanan keuangan, pendidikan daring, hingga informasi kesehatan.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
















































