
Oleh: Desy Selviana
(Pustakawan)
Tidak semua pemimpin berani menantang sistem yang membesarkannya. Tapi Lamaddaremmeng atau Sultan Muhammad Saleh, Raja Bone abad ke-17, justru melakukannya.
Ketika adat melegalkan perbudakan, ia berdiri tegak dan berkata: "cukup". Ia tahu risikonya, tetapi baginya, martabat manusia jauh lebih penting daripada warisan yang melanggengkan ketidakadilan.
Dengan keberanian yang langka, Lamaddaremmeng menjadi raja pertama di Bone yang menghapus perbudakan secara resmi—bukan sekadar mengecam, tetapi menghentikan fondasi kekuasaan para bangsawan.
Ia sadar tindakannya akan mengguncang struktur sosial yang telah mapan, karena budak pada masa itu bukan hanya alat produksi, melainkan simbol status dan kekuasaan.
Dalam masyarakat Bugis Bone saat itu, perbudakan dilegalkan secara adat. Mereka yang kalah perang, terlilit utang, atau dijatuhi hukuman adat bisa dijadikan budak.
Dalam struktur ini, manusia diperdagangkan, dikendalikan, bahkan diperlakukan semena-mena tanpa perlawanan, karena dianggap "wajar".
Namun, Lamaddaremmeng melihat yang tidak dilihat oleh bangsawan lain: bahwa budaya yang tidak berpihak pada martabat manusia hanyalah tembok pembatas kemajuan.
Ia menghayati secara mendalam filosofi Bugis: Sipakatau—memanusiakan manusia. Dalam prinsip ini, tidak ada yang lebih luhur dari martabat dan kesetaraan. Seperti tertulis dalam Lontara:
"Orang yang memberi karena pantas memberi, dan orang yang menerima karena pantas menerima. Tanggung jawab telah dijalankan dan telah ditunaikan, ke semua ini tidak lain adalah bagian daripada assiakatauang (peradaban)".
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: