
FAJAR.CO.ID -- Keterlibatan militer dalam ruang siber menuai pro kontra. Ada yang menganggap kehadiran militer di ruang digital sejalan dengan tren global untuk memperkuat kapabilitas pertahanan siber.
Namun, ada pula kekhawatiran keterlibatan militer dalam ruang siber menjadi alat kontrol negara atas sirkulasi informasi publik di ruang digital.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) misalnya, mengkhawatirkan masuknya militer ke ruang siber, karena jadi cara negara mengonstruksi domain siber sebagai ancaman utama terhadap keamanan nasional.
Perluasan kewenangan Operasi Militer Selain Perang atau OMSP untuk mengatasi dimensi virtual dan kognitif dari perang siber sangat rentan disalahgunakan. Jika ancaman siber dipandang sebagai ancaman eksistensial, negara dapat menjadikannya justifikasi untuk menerapkan langkah-langkah koersif yang bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).
"Narasi ancaman Perang Siber dengan negara lain dapat dijadikan kambing hitam untuk membungkam wacana-wacana kritis. Juga meningkatkan kontrol negara atas sirkulasi informasi publik di ruang digital dengan cara pengawasan massal yang merupakan pelanggaran hak atas privasi," tulis SAFEnet dikutip Kamis (27/3/2025).
Padahal, SAFEnet menilai penyensoran konten/situs web merupakan pelanggaran hak atas informasi dan pengetatan regulasi terkait ekspresi daring yang merupakan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi.
Selain perluasan OMSP, ketentuan membuka kesempatan kepada prajurit aktif militer untuk menduduki jabatan-jabatan sipil juga dinilai membuka ancaman baru bagi penghormatan hak-hak digital warga.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: