Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pegiat media sosial, Lukman Simanjuntak, turut menanggapi pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Dikatakan Lukman, perbedaan pandangan publik di berbagai platform media sosial menunjukkan karakter demokrasi di dunia digital saat ini.
"Jadi kesimpulannya, di Tiktok dll setuju jadi pahlawan, di X kagak," ujar Lukman di X @hipohan (12/11/2025).
Lukman blak-blakan menyebut bahwa demokrasi di Indonesia tidak peduli dengan suara yang kritis.
"Tidak peduli pada suara yang kritis, demokrasi hanya peduli pada suara yang banyak,” tandasnya.
Dilihat dari hasil pantauan Drone Emprit Notes bertajuk Soeharto di Mata Warganet, semua menyambut positif positif, kecuali di X.
Data tersebut memperlihatkan bahwa hampir semua platform digital termasuk media online, Facebook, YouTube, Instagram, dan TikTok memiliki sentimen positif terhadap usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
Namun, situasi berbeda terlihat di X, mayoritas warganet justru menunjukkan respons negatif dan menjadi pusat kritik terhadap pemberian gelar tersebut.
Sebelumnya, Pengamat Politik dan Ekonomi, Heru Subagia, menyebut bahwa keputusan menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional perlu dikaji dari sisi sejarah dan politik kekuasaan.
“Saya sebagai warga negara melihat kondite atau berbicara bagaimana sejarah berawal, dimulai, diperjuangkan, dan bahkan pada akhirnya dikontrol oleh sebuah rezim,” ujar Heru kepada fajar.co.id, Selasa (11/11/2025).
Dikatakan Heru, dalam perjalanan sejarah pembentukan negara, banyak tokoh-tokoh yang produktif namun akhirnya berbenturan dengan kepentingan kekuasaan.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:


















































