Kendaraan Bernama Partai Satire tentang Politisi Pindah-pindah Perahu

16 hours ago 9

Oleh: Mustamin Raga, Penulis Buku Suara dari Pelukan Kabut

Di negeri ini, kalimat "partai politik hanyalah kendaraan" sudah lama menjadi semacam kelakar publik. Pada awalnya, ia lahir sebagai satire, ejekan terhadap perilaku para politisi yang kerap memperlakukan partai seperti gerobak sewaan. Namun, semakin hari, guyonan itu kian menjelma kenyataan. Tak ada lagi rasa malu ketika seorang politisi dengan entengnya berkata: “Partai hanya kendaraan, yang penting bisa sampai tujuan.”

Bahasa itu terdengar seperti candaan, tetapi sesungguhnya ia adalah kuburan bagi ideologi. Sebab, kalau benar partai hanyalah kendaraan, maka kita bisa dengan mudah menukar bus dengan sepeda motor, atau menukar gerobak dengan mobil mewah, sesuai kebutuhan. Padahal, di atas kertas dan dalam konsepsi demokrasi, partai politik bukan semata kendaraan, melainkan rumah gagasan, sekolah ideologi, dan wadah perjuangan.

Untuk memahami betapa seriusnya persoalan ini, kita perlu sejenak menoleh ke sejarah dan hakikat partai politik. Maurice Duverger, ilmuwan politik asal Prancis yang banyak meneliti partai, menyebutkan: “Parties are not just organizations for winning elections; they are schools of thought, vehicles of ideology, and institutions of democracy.”
(Partai bukan hanya organisasi untuk memenangkan pemilu; mereka adalah sekolah pemikiran, kendaraan ideologi, dan institusi demokrasi).

Lihatlah pernyataan itu: partai memang bisa disebut kendaraan, tetapi kendaraan bagi ideologi, bukan kendaraan bagi ambisi pribadi. Perbedaan ini tipis, namun di situlah letak kejatuhan kita.
Di awal abad ke-20, partai politik lahir sebagai artikulasi perjuangan. Di Indonesia, partai-partai nasionalis, Islam, maupun kiri, semuanya membawa cita-cita besar. Partai bukan hanya bendera, melainkan keyakinan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:

Read Entire Article
Situasi Pemerintah | | | |