2 guru dipecat karena menolong guru lain agar tetap dapat gaji. Tampak guru-guru di Luwu Uatara lakukan aksi membela keduanya.
Oleh: Masmulyadi
(Direktur Lembaga Penelitian Sosial dan Demokrasi)
Pagi di awal November 2025 itu, Luwu Utara seolah menahan napas. Di depan Kantor Bupati, bukan lagi rutinitas biasa yang terlihat, melainkan lautan seragam batik PGRI. Wajah-wajah yang sehari-hari menularkan ilmu di kelas, kini memancarkan tekad yang dalam menghadapi sesuatu yang jauh lebih berat dari papan tulis: ketidakadilan. Sebuah spanduk hitam dengan tulisan merah menyala, "Stop Kriminalisasi Guru", menarik perhatian masyarakat. Itu bukan sekedar kain spanduk, melainkan cermin pecah dari kekecewaan para guru.
Mereka yang berkumpul di sana bukan sekadar massa. Mereka adalah guru-guru sejati, yang digerakkan oleh satu keyakinan sederhana: di saat keadilan diperkosa, kemanusiaan menuntut kita untuk berbicara.
Solidaritas Berbuah Duri
Kisah getir ini bermula lima tahun lalu di SMA Negeri 1 Luwu Utara. Sepuluh guru honorer menghadapi kenyataan bahwa sepuluh bulan gaji mereka belum terbayarkan. Rasnal, kepala sekolah yang baru, mencoba mengurai benang kusut itu.
Ia menemukan kenyataan yang menohok: nama-nama guru itu tak terdaftar di Dapodik. Sebuah masalah "administrasi" pada sistem data pendidikan nasional. Tapi bagi para guru, ini bukan sekadar data. Ini adalah isi piring di meja makan, ini adalah keberlangsungan hidup mereka. Tanpa data itu, dana BOS takkan bisa digunakan membayar honorarium mereka.
Di tengah situasi yang mencekik, Rasnal berinisiatif. Ia memanggil dewan guru dan komite sekolah. Dari musyawarah itu, lahirlah keputusan yang tulus. Para orang tua bersedia iuran Rp20.000 per bulan demi membantu para pahlawan tanpa tanda jasa itu. Ini adalah tangan yang diulurkan dari hati ke hati, sebuah solusi darurat yang lahir dari rasa persaudaraan, meski jauh dari kata ideal.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:


















































