
Oleh: Heru Subagia
(Pengamat Politik dan Ekonomi Alumni Fisipol UGM)
Bak guntur menggelegar di mendung pekat musim hujan. Kilatan cahaya dan suaranya yang dihasilkan menggenggam di segala arah. Nama Purbaya identik dengan suara gemuruh guntur tersebut. Nasib atau rekayasa sedang menyasar seorang pria jebolan ITB tersebut.
Jika diukur umur jabatannya, Ia belum genap sebulan duduk di kursi kabinet Prabowo–Gibran, namun nama Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya telah menjelma menjadi magnet baru di ruang publik. Di media sosial, tagar-tagar berisi pujian dan kekaguman padanya bergulir cepat.
Idola Baru
Dalam survei yang beredar, Purbaya bahkan dinobatkan sebagai Menteri Terbaik versi publik. Mencermati hasil survei Indonesia Survey & Consulting (ISC) indeks kepuasan publik terhadap kinerja menteri Kabinet Merah Putih yang mencatat angka sangat positif.
Survei yang dilakukan pada September 2025 dengan melibatkan 1.200 responden melalui metode wawancara acak terstruktur ini menempatkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di posisi puncak dengan tingkat kepuasan mencapai 85%.
Menurut catatan lembaga survei tersebut, pencapaian fantastis tersebut dinilai mencerminkan kepercayaan publik yang tinggi terhadap kebijakan fiskal dan pengelolaan keuangan negara yang dilakukan Kementerian Keuangan di tengah tantangan ekonomi global.
Paradoks Purbaya
Namun di balik citra manis itu, tersimpan tanda tanya besar, mengapa begitu cepat dan masif?
Sedang terjadi fenomena rekayasa politik kelas wahid. Bukan sekadar ekspresi spontan publik terhadap pejabat baru, melainkan gejala politik yang jauh lebih kompleks. Secara tegas disimpulkan bahwa ada sesuatu yang tidak natural dalam cara nama Purbaya tumbuh di ruang digital.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: