PEMERINTAH - Bayangkan sebuah pagi di sebuah desa yang sepi, seorang bapak tua duduk di warung kopi sederhana. Matanya mengawasi orang-orang yang berlalu-lalang, sesekali menyeruput kopi panas sembari berbicara lirih kepada pemilik warung. “Kita ini ya, sudah tua, tapi kok makin bingung sama pemerintah. Kebijakan ini-itu kok rasanya makin nggak nyambung sama kita-kita di sini, ” keluhnya.
Pemilik warung mengangguk sambil tersenyum simpul. “Iya, Pak. Kadang saya mikir, apa mereka di atas sana tahu apa yang kita butuhkan di bawah sini? Kalau kita nggak mampu, kebijakan itu terasa kayak beban. Kalau kita susah, malah jadi makin berat. Tapi kalau kebijakan terlalu banyak ngatur, ya lama-lama orang malah gerah.”
Bapak tua itu tertawa kecil, “Itulah yang saya bilang, Mas. Kalau masyarakat merasa tak mampu, kebijakan itu jadi salah. Kalau masyarakat merasa susah, kebijakan itu jadi salam—alias kita cuma bisa pasrah sambil bilang ‘semoga ada solusi’. Nah, kalau masyarakat merasa terlalu diatur, kebijakan itu jadi ngawur! Serasa hidup ini diatur sedemikian rupa, sampai nggak ada ruang buat kita berpikir sendiri.”
Percakapan itu berhenti sejenak, suara cicitan burung mengisi udara. Namun, bapak tua melanjutkan dengan nada yang lebih serius, “Saya nggak bilang pemerintah itu nggak kerja, ya. Tapi kebijakan itu kayak nasi goreng, Mas. Kalau bumbunya pas, hasilnya enak. Kalau kurang bumbu, hambar. Kalau kebanyakan bumbu, ya keblinger. Pemerintah harus tahu rasa kita, jangan cuma masak di dapur mereka sendiri.”
Pemilik warung manggut-manggut. “Betul juga, Pak. Kadang saya heran, kebijakan yang katanya buat rakyat kok rasanya kayak jauh banget dari kehidupan kita. Mau bikin hidup lebih baik, tapi kok malah terasa makin rumit?”
Bapak tua tersenyum lebar, matanya penuh kilau kebijaksanaan. “Ya itu dia, Mas. Kebijakan yang baik itu bukan soal banyaknya aturan, tapi soal seberapa kita merasa didengar. Kalau rakyat merasa tak mampu, pemerintah harus hadir. Kalau rakyat merasa susah, pemerintah harus melindungi. Dan kalau rakyat merasa terlalu diatur, pemerintah harus mundur selangkah, biar rakyat juga bisa belajar mandiri.”
Percakapan berakhir dengan bunyi sendok mengaduk kopi. Sebuah refleksi sederhana dari warung kecil di desa, tentang bagaimana kebijakan yang jauh di atas sana semestinya dirasakan hingga ke hati rakyat. Sebab, pada akhirnya, sebuah negara besar bukan hanya tentang aturan, tapi tentang bagaimana rasa kebersamaan itu tetap terjaga.
Jakarta, 26 Desember 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi